Senin, 13 Juni 2011

Analisis Novel "Bunga Roos Dari Cikembang" Karya: Kwee Tek Hoay

Bunga Roos Dari Cikembang adalah salah satu novel yang ditulis oleh penulis Tionghoa, yaitu Kwee Tek Hoay. Dalam novel ini, Kwee Tek Hoay mencoba menggambarkan hubungan antara etnis Cina, (Tionghoa), Belanda, dan pribumi. Salah satu hal yang menarik untuk disoroti adalah jejak kebangsaan yang coba ditampilkan dalam latar dan tokoh yang ada dalam novel Bunga Ros Dari Cikembang ini.
Tokoh Tionghoa Indonesia digambarkan sebagai orang yang memiliki kekayaan, kemashuran, dan peningkatan derajat yang disebabkan oleh usaha yang mereka rintis dengan sungguh-sungguh dan susah payah. Akan tetapi ada yang menarik, para saudagar Tionghoa Indonesia umumnya mempunyai seorang nyai yang hidup bersama mereka. Contohnya ada dalam tokoh Ay Tjeng yang mempunyai seorang nyai yang bernama Marsiti. Nyai yang bernama Marsiti inilah yang membuat kehidupan Ay Tjeng menjadi berwarna, ada suka dan ada duka.  Begitu juga tokoh Ken Djim yang tidak lain adalah mertua dari Ay Tjeng yang diam-diam ternyata memiliki seorang nyai yang ia pelihara semasa waktu muda, akan tetapi hal ini baru ia katakan kepada anak dan menantunya beberapa sat sebelum ia meninggal. Sepertinya, tradisi unruk memelihara nyai ini sudah menjadi kewajaran tersendiri bagi orang Tionghoa sebelum ia mempunyai istri dari kalangan Tionghoa juga. Bahkan hubungan ini sampai membuahkan benih yaitu seorang anak.
Fenomena kepemilikan nyai yang diceritakan oleh Kwee Tek Hoay dalam novel Bunga Roos Dari Cikembang inilah yang menyebabkan novel ini tidak diterbitkan di Balai Pustaka karena isi dari novel ini tidak mencerminkan sebuah hubungan yang tidak baik menurut redaktur Balai Pustaka yang pada waktu itu adalah penjajah di Republik Indonesia, yaitu orang-orang Belanda. Hal ini karena orang Belanda sangat fanatik terhadap agama Kristen Protestan yang mereka anut sangat menghargai hubungan suami istri.
Sebagai perantau di Indonesia, ternyata orang Tionghoa Indonesia dalam novel ini mempunyai rasa cinta tanah air yang tinggi terhadap Negara asalnya (Tiongkok). Salah satunya digambarkan dalam tokoh Bian Koen yang ingin pulang ke Tiongkok untuk menjadi tentara dan siap mati untuk negaranya sebagai seorang tentara. Keinginan Bian Koen untuk menjadi tentara  ini muncul setelah ia ditinggal mati oleh kekasih tercintanya Lily yang tidak lain adalah puteri dari Ay Tjeng. Hal lain yang digambarkan Kwee Tek Hoay tentang Tionghoa Indonesia dalam novel Bunga Roos Dari Cikembang ini adalah sebagai orang yang terpelajar. Hal ini digambarkan oleh tokoh Gwat Nio dan Bian Koen yang menuntut ilmu sampai ke perguruan tinggi. Bahkan Bian Koen adalah salah satu lulusan dari Amerika.
Sementara itu tokoh pribumi digambarkan sebagai seseorang yang lemah, pasrah, lugu, menurut, dan setia. Hal ini ditunjukkan dalam tokoh Marsiti yang tidak lain adalah Nyai dari Ay Tjeng. Walaupun dirinya hidup sebagai Nyai yang dipelihara oleh Ay Tjeng, akan tetapi hati Marsiti sangat menyayangi Ay Tjeng, begitu juga sebaliknya Ay Tjeng kepada Marsiti. Kesetiaan Marsiti terjaga sampai akhir hayatnya. Kepergian Marsiti dari rumah Ay Tjeng dikarenakan Marsiti merelakan dan memudahkan pernikahan Ay Tjeng dan Gwat Nio yang tidak lain adalah puteri dari pengusaha kaya Ken Djim. Walaupun rasanya berat meninggalkan Ay Tjeng, akan tetapi Marsiti rela asalakan Ay Tjeng mendapatkan keberuntungan dari pernikahannya bersama. Walaupun perpisahan ini berkat campur tangan calom mertua dan orang tua Ay Tjeng untuk memisahkan Ay Tjeng dan Marsiti.
Satu lagi kesetiaan yang ditunjukan oleh karta seorang bujang yang dimiliki oleh keluarga Ay Tjeng. Karena keprihatinan ia terhadap hubungan Ay Tjeng dan Marsiti, akhirnya ia memilih untuk menjaga Marsiti setelah keluar dari rumah Ay Tjeng atas kehendak orang tua dan Ay Tjeng. Bahkan Karta  menjaga rahasia ini sampai Marsiti meninggal dan merawat anak Marsiti yang ia kandung sebelum ia keluar dari rumah Ay Tjeng. Akan tetapi kehamilan ini tidak dikeyahui oleh Ay Tjeng dan keluarga. Anak Marsiti hasil hubungannya dengan Ay Tjeng diberi nama Roos yang nantinya akan menjadi istri dari Bimn Koen setelah kematian Lily puteri dari Ay Tjeng dan Gwat Nio. Sungguh hal yang mengejutkan, Roos anak hasil hubungan Ay Tjeng dan Marsiti ternyata memilki kemiripan dengan Lily yaitu anak hasil hubungan Ay Tjeng dan Gwat Nio. Karena parasnya yang sangat cantik, Roos dijuluki oleh penduduk setempat dengan sebutan Bunga Roos Dari Cikembang.
Sementara itu, ternyata orang Belanda dan Tionghoa Indonesia mempunyai beberapa persamaan. Salah satu persamaannya adalah orang Belanda dan Tionghoa sama-sama “gemar” memelihara nyai. Bahkan ada orang Tionghoa  yang memelihara Nyai lebih dari satu orang, yaitu Ken Djim yang tidak lain adalah mertua dari Ay Tjeng. Bahkan Gwat Nio yang tidak lain adalah istri dari Ay Tjeng ternyata anak hasil hubungannya dengan Nyai. Dan setelah diselidiki, ternyata Gwat Nio dan Marsiti adalah saudara.
Walaupun dalam cerita ini menceritakan kedudukan pribumi sebagai Nyai dan bujang, akan tetapi peranan dari tokoh pribumi yang diceritakan Kwee Tek Hoay dalan novel Bunga Roos Dari Cikembang menjadi kunci dari kebahagiaan yang akhirnya didapat oleh keluarga Ay Tjeng. Kemiripan Roos  anak dari Marsiti dengan Lili puteri dari Gwat Nio menyebabkan Bin Koen bangkit dari kesedihannya setelah ditinggal mati oleh Lily dan akhirnya Bin Koen dan Roos pun menikah dan dikaruniai anak. Kerelaan Marsiti meninggalkan rumah Ay Tjeng menyebabkan Ay Tjeng dan Gwat Nio menikah. Walaupun pada pertengahan cerita keluarga Ay Tjeng dan Gwat Nio dilanda musibah dengan meninggalnya Lily, akan tetapi pada akhirnya mereka hidup bahagia dengan mempunyai anak menantu dan cucu yang memberikan hiburan di masa tua Ay Tjeng dan Gwat Nio. Bahkan dalam akhir cerita, Marsiti hadir dengan perantara cucu Ay Tjeng ntuk menyaksikan kebahagiaan keluarga Ay Tjeng dan menepati janji Marsiti kepada Ay Tjeng untuk menaburi rumah Ay Tjeng dengan bunga yang dibawa oleh Marsiti sebelum ia pergi dari rumah Ay Tjeng dan akan memberikannya kepda Ay Tjeng setelah ia mempunyai seorang istri dari bangsanya sendiri.



Musik: Dari sekedar Hiburan Sampai Terapi Penyembuhan

Musik adalah suatu keindahan yang berasal dari kumpulan suara melodi, ritme, dan harmoni sehingga dapat membangkitkan emosi bagi yang mendengarnya. Hampir semua orang pasti menyukai musik, mulai dari anak-anak sampai orang tua, entah itu dengan cara memainkannya langsung atau hanya sekedar mendengarkan saja. Hal ini karena musik merupakan implementasi dari proses kreatif manusia yang melibatkan otak kanan.
Perkembangan kepribadian seseorang juga memengaruhi dan dipengaruhi oleh jenis musik yang didengar. Pemilihan jenis musik yang disukai bisa dibilang membantu kita untuk memberikan nuansa hidup yang kita butuhkan. Misalnya, agar tenang kita bisa mendengarkan lantunan jazz, suara distorsi musik rock dan metal bisa membuat semangat, dan apabila untuk santai, mungkin lagu-lagu raggae dan blues bisa menjadi pilihan.
Secara tidak sadar, ternyata musik banyak sekali memberikan efek-efek positif terhadap manusia. Bukan sekedar menjadi peluang bisnis bagi orang yang terjun ke dunia industri musik yang bersifat materil, akan tetapi kepada rohani dan kesehatan manusia. Menurut beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli, terapi musik ini bisa memeberikan manfaat seperti meningkatkan kreatifitas, mengurangi kecemasan dan stress, meningkatkan intelegensi, mengubah mood menjadi lebih positif, dan  meningkattkan daya konsentrasi. Hal ini dipertegas oleh H. Alingerman dalam bukunya yang berjudul “The Healing of Music”, yang menyebutkan beberapa fungsi dari musik: meningkatkan vitalitas fisik, menghilangkan kelelahan, meredakan kecemasan dan ketegangan, meningkatkan daya konsentrasi, memperdalam hubungan dan memperkaya persahabatan, merangsang kreativitas dan kepekaan, dan memperkuat karakter serta perilaku positif.
Setiap genre/aliran musik memberikan pengaruh yang berbeda-beda. Musik jazz misalnya, menjadikan mood menjadi lebih baik apabila mendengarnya. Musik rock yang selama ini dianggap sebagai musik yang memekakan telinga, setelah diteliti oleh Leigh Riby dan George Caldwell Psikolog dari Glasgow Cladenian University ternyata bisa meningkatkan produktivitas ketika sedang bekerja. Musik klasik yang terkenal dengan efek mozart salah satu istilah untuk efek yang bisa dihasilkan sebuah musik yang dapat meningkatkan intelegensia seseorang ternyata bisa bermanfaat dalam bidang kesehatan. Samuel halim dalam penelitiannya menemukan bahwa efek Mozart dapat membantu penyembuhan penyakit Alzheimer (sakit yang biasa diderita oleh lanjut usia ditandai dengan susah berjalan, bicara, dan jarang bergaul). Penelitian lain yang dilakukan oleh Campbell menemukan bahwa musik klasik bisa lebih membantu penyembuhan penyakit-penyakit seperti stress, kanker, dyslexia, dan tekanan darah tinggi.
Meski efek musik pada orang sehat tidak sebesar pada orang sakit, akan tetapi dalam hal ini musik berperan sebagai terapi preventif. Dalam praktiknya, terapi musik bisa terdiri dari dua hal yang aktif dan pasif. Dengan pendekatan aktif, maka pasien dapat turut aktif berpartisipasi. Misalnya, saat mereka mendengarkan musik, mereka dapat ikut bersenandung, menari, atau hanya sekedar bertepuk tangan. Sedangkan yang sifatnya pasif jika pasien hanya bertindak sebagai pendengar saja. Meski mereka tampak pasif, namun sesungguhnya aktivitas mentalnya tetap terjaga. Para Pakar Medis masih berhati-hati sebelum menyatakan secara tegas efek penyembuhan oleh musik, terapi musik bukanlah pengganti perawatan medis standar, namun hanya bersifat melengkapi. Akan tetapi,  hubungan antara musik dan penyembuhan selama ini jelas positif. 
Moh.Ade Irwan Saputra
Sumber bacaan pendukung:
Kata-kata Bijak Albert Einstein

“The imagination is more important than knowledge”
“Imajinasi lebih penting daripada ilmu pengetahuan.”
‘’Pengetahuan terbatas, imajinasi mengarungi dunia.”

“Tidak semua yang diperhitungkan bisa dihitung, dan tidak semuayang bisa dihitung diperhitungkan.”

“Keahlian yang mumpuni dari seorang guru akan membangkitkankeceriaan dalam berekspresikreatif dalampengetahuan.”

“Kadang kita membayar lebih untuk sesuatu yang tidak ada nilainya.”

“Barang siapa yang tidak pernah melakukan kesalahan, maka dia tidak pernah mencoba sesuatu yang baru.”

‘’Satu-satunya alas an adanya waktu adalah supaya segala sesuatu tidak terjadi pada saat yang bersamaan.”

“Letakkan tanganmu di atas kompor panas selama satu menit, maka rasanya akan seperti satu jam. Duduklah dengan seorang gadis cantik selama satu jam, maka rasanya seperti satu menit. Itulah relativitas.”

“Seseorang baru memulai hidup jika dia bisa hidup di luar dirinya sendiri.”

‘Perut yang kosong bukanlah penasihat politik yang baik.”

‘Kita membutuhkan cara berpikir yang benar-benar baru jika ingin umat manusia tetap bertahan.”

“Kedamaian tidak bisa dilakukan melalui kekerasan, ia hanya bisa dicapai melalui pemahaman.”

‘Persoalan-persoalan penting yang kita hadapi tidak bisa dipecahkan dengan tingkat pemikiran yang sama dengan pada saat kita menciptakannya.”

“Dua hal yang mengilhamiku hingga aku terpesona – langit berbintang dan semesta moral di dalamnya.”

“Satu-satunya hal yang mempengaruhi pembelajaranku adalah pendidikanku.”

“Aku tidak punya bakat khusus, aku hanyalah orang yang penasaran.”
“Bukannya aku ini cerdas, hanya saja aku mampu bertahan lebih lama dengan berbagai persoalan.”

“Sepanjang pengetahuanku, aku lebih menyukai kejahatan yang disembunyikan daripada kebajikan yang dipamerkan.”

Mukhit, Abdul dan Ajie Armansyah. 2005. Kata-kata Bijak Albert Einstein. Jakarta: Instink Publishing

Mereka Dalam Puisi

Itu Jalanmu, Ini Kehendakku
Asya Sherina Khansa*

Saat kau benar-benar tak kenal dampak
Saat kau rasa waktu membuatmu tercampak
Detik dunia memukul ubunmu bak kampak
Usahamu menangis mencari jalan tak tampak

Kemudian senyummu simpul dengan dosa
Lelah akan tangis darahmu yang berkuasa
Gantikan penyesalan kini kau perkasa
Lakukanlah, kau dan Tuhan lakoni masa

Sumbat kuping dengan angkuhmu
Hentak kakimu, mereka tak ada hak, jangan jemu
Itu tanggungan saat kau dengan-Nya bertemu
Itu kau, ini aku, itu jalanmu, ini kehendakku



Dilema Dunia
Vega Mediana*

Kemarin, aku adalah aku
Tanpa arah ku berlari
tanpa otak ku berpikir

Sujudku menahan gejolak hancurnya pola dunia
mataku terpaku terenyah
Melihat indahnya alunan dosa-dosa
Dosa-dosa yang telah sombong berdiri tegak menantang

Ku berlari
Mengejar dinginnya ruang hampa
Mengisi kalutnya amarah yang membara
Mulutku terbuka dan aku berucap
Ku ingin berontak
Tapi ku hanya sanggup teriak
Diriku terhempas
Dan aku terjebak

Hanccurkan hasrat yang membuatku gelap
Menuju temaram senja yang menghadang
Rapuhku menghilang



Batas
Tsarina Maharani*

Meletup-letup
Seperti biasa, masih seperti dulu
Kadang pelan
Kadang kasar
Kadang tak tertahankan

Seringnya tak bisa ku ungkapkan
karena batas
Karena sekat yang kita buat

Tak pernahkah kau sadar
Kadang aku mengungkapkannya sembunyi-sembunyi
Tersirat
Di balik deretan kalimat yang aku kirim kepadamu

Aku suka sekali merasakan indahnya
Ketika aku menulisnya
Memilih kata demi kata
Lalu menghapusnya begitu saja

Aku terlalu takut
 Lalu aku mencoba menulisnya lagi dari awal
Merenung
Membayangkan kata-kata apa yang pantas


Agar kamu mengerti
Agar kamu mudah memahami
Apa yang sebenarnya ingin aku sampaikan

Dan aku sadar
Kita berdua
Selalu berusaha
Sembunyi-sembunyi mengungkapkan cinta yang masih tersisa
Sejak hari itu
Saat batas itu tercipta



Dari Kami Untuk Para Guru
Cintya Widya N*

Kami hanya manusia biasa
Miliki noda penuh kesalahan
Noda dalam setiap baris partitur kami

Sebab itu kami membutuhkan melodi
Melodi indah yang miliki warna gradasi
Dan melodi itu adalah Anda
Selaksa musik klasik yang merdu

Kami bukan manusi sempurna
Layaknya puisi musikalisasi yang menyatu
Menyatu dalam setiap nada harmonis

Hanya inspirasi dapat sempurnakan kami
Menjadikannya sebuah instrument
Bukan sekedar instrument
Melainkan instrument klasik yang harmonis

Dan inspirasi tersebut adalah Anda
Sebab Anda sempurnakan musik klasik kami, partitur, melodi, puisi, serta instrument kami




Curahan Hati
Arvin Satya Ramadi*

Kau tahu betapa hambarnya rasa ini
Kau tahu betapa hancurnya
Saat kau mengatakannya
Merasuk dan menghempas segala yang terpikir di benakku

Akulah si keledai liar
Akulah si anjing bodoh
Akulah si kepala baja
Yang selalu mencela, menentang, membangkang

Tapi sayang
Kebencian ini tak sebanding dengan cintamu
Dan aku sadar
Yang kau lakukan adalah yang terbaik untukku

*Penulis adalah siswa-siswi SMAN 3 Kota Tangerang Selatan
Tempat saya melaksanakan PPKT
Dia
Moh. Ade Irwan Saputra

Matanya bercahaya bila menatap
Bila dia tersenyum, laksana bulan sabit ada di bibirnya
Kulitnya yang sawo matang
Membuat mata tak pernah jemu memandang
Jari-jarinya yang lentik selalu berhasil membuatku menggelitik
Itulah dia…
Diamnya emas
Tapi candanya seringkali membuatku lemas
Itulah dia…
Yang membuat hatiku berkelana



Betapa Bodohnya
Moh. Ade Irwan Saputra

Berdiri di atas impian
Merangkak di atas khayalan
Tanpa ada gerak mendukung jalan
Kaku dan bisu jadi satu

Menapak tanpa arah
Seakan diri ini pasrah
Semua semakin pasrah
Musnah sudah harapan iindah
Betapa bodohnya




Dan Bila
Moh. Ade Irwan Saputra

Bila ada yang bertanya siapa wanita cantik itu?
Dialah kekasih hatiku
Bila ada yang bertanya apakah diriku bahagia dekat dengannya?
Aku sangat bahagia

Dan bila ada yang bertanya apakah dia mengakui keberadaanku di sampingnya?
Itulah persoalan yang belum ada jawabannya

Rabu, 08 Juni 2011

Analisis Novel

Lukisan Perempuan Dalam Kasta Bali
“Sebuah Kajian Sosiologis”
“Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini” (2000)
Oleh Moh Ade Irwan Saputra

Kepedulian pengarang terhadap lingkungannya bisa menjadi sebuah inspirasi dan imajinasi tersendiri bagi pengarang dalam membuat suatu karya sastra. Hal senada dengan ini,  karya sastra lahir dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaiannya (Aminuddin, 1990:57). Akan tetapi, hal itu tidak semata-mata hanya menjadi sebuah imajinasi belaka, akan tetapi harus adanya suatu “kebenaran” yang sesuai dengan realitas sosial yang terjadi karena kriteria utama yang dikenalkan pada karya sastra adalah kebenaran penggambaran atau apa saja yang ingin digambarkan pengarang ke dalam karyanya. Melalui penggambaran tersebut, pembaca dapat menangkap gambaran seorang pengarang mengenai dunia sekitarnya, apakah itu sudah sesuai dengan hati nuraninya atau belum (Pradopo, 2002:26).
Berbicara tentang realitas sosial, adanya sistem kasta yang ada di Bali mungkin menjadi suatu realitas sosial yang sangat menarik untuk diketahui dan dibicarakan. Kata kasta berasal dari bahasa Portugis casta (dalam bahasa Inggris : caste) yang artinya kelompok, kelas sosial, jenis tertentu karena kelahiran. Kasta merupakan suatu penggolongan masyarakat berdasarkan perbedaan status sosial dan bersifat turun menurun. Istilah kasta ini dibawa oleh bangsa portugis ke India sekitar 15000 SM. Sebenarnya kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep Catur Warna dalam agama Hindu (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra). Ajaran Catur Warna dalam ajaran Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal empat Warna yaitu Brahmana: orang-orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual, Ksatria: orang- orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, Waisya: orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian, dan Sudra: orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain (Wiana, 2000).
Riwayat  istilah kasta berawal ketika Kerajaan Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada, maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13. Para “penjajah Majapahit” membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum elit itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Kesatria, dan Wesya. Semua penduduk Bali asli yang dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra. Tujuan politik Gajahmada adalah agar kaum Bali asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan Samprangan dapat berlanjut terus. Sejak masa itulah “Warna” di Bali berubah menjadi “Wangsa” atau “Kasta” karena hak-hak kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya.
Setelah kerajaan-kerajaan di Bali runtuh, kemudian Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan sendirinya hilang. Namun demikian titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk mengenang kejayaan masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur. Sekarang tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang. Tinggi rendahnya status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu (Stiti Dharma).
Melihat realitas sosial kasta yang terjadi di lingkungannya, Oka Rusmini sebagai  wanita Bali sangat jeli dalam mengamati fenomena-fenomeni tersebut. Kehidupan masyarakat yang kompleks dan rumit yang terikat dengan peraturan akibat adanya sistem kasta tersebut ia tuangkan dalam tulisan dengan menggunakan bahasa sederhana yang terkadang masih lekat dengan logat Bali. Oka juga sangat mahir untuk menggambarkan secara spesifik tentang kehidupan masyarakat di Bali, sehingga bukan hanya memberikan keindahan sebagai suatu karya sastra kepada para pembaca, akan tetapi juga memberikan suatu pencerahan mengenai  kesalehan spiritual manusia budaya Bali yang patuh dengan adat istiadat.
Kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut griya.
Kajian ini akan memfokuskan pada permasalahan sosial dan adat istiadat sistem kasta dalam budaya Bali dengan segala peraturannya Bali yang terjadi atau tertuang dalam karya ini. Untuk itu, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosiologis. Pemilihan pendekatan yang diambil dianggap tepat dikarenakan pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Nyoman Kutha Ratna, 2007). Oleh karena itu, besar harapan kajian ini akan memberikan sedikit banyak pemahaman tentang realitas sosial Bali yang coba pengarang tuangkan dalam karyanya  ini. Dasar filosofis pendekatan sosiologis itu sendiri yaitu adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Nyoman Kutha Ratna, 2007). Senada dengan hal itu, pendekatan ini digunakan agar adanya pemahaman hubungan antara karya sastra dengan kehidupan sosial yang melingkunginya berdasarkan pandangan bahwa karya sastra itu diciptakan  pengarang sebagai individu yang pasti berada dalam lingkungan masyarakat dan zaman tertentu, sehingga masuk akal apabila karya sastra mengungkapkan berbagai masalah yang  terjadi dalam masyarakat sesuai dengan gagasan atau persepsi pengarang yang bersangkutan (Yudiono KS, 2009).

Kasta: Jarak antara Anggota Masyarakat
            Panggilan untuk setiap kasta yang berbeda, maka sebutan yang disandang pun berbeda. Ida Ayu biasanya disingkat Dayu adalah nama depan untuk anak perempuan kasta Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali. Adapun nama depan untuk anak laki-laki dalm kasta Brahmana adalah Ida Bagus. Seorang yang kastanya lebih rendah akan memanggil anak perempuan Brahmana dengan panggilan Tugeg (singkatan dari Ratu Jugeg).
            Banyak sekali aturan yang harus dipatuhi dalam perbedaan kasta ini. Mulai dari pemberian nama, sampai masalah memilih pasangan hidup. Seorang Ida Bagus panggilan anak laki-laki kasta Brahmana tidak boleh mempersunting seorang perempuan sudra kasta terendah dalam kasta Bali karena menurut adat dan kepercayaan akan membawa malapetaka, kesialan, atau aib. Hal inilah yang juga dialami oleh Telaga yaitu anak dari Jero Kenanga (Luh Sekar) keturunan kasta Brahmana yang jatuh cinta kepada Wayan Sasmhita. Akhirnya mereka menikah walaupun ditentang oleh keluarganya. Apabila seorang wanita keturunan Brahmana menikah dengan seorang lelaki sudra, maka wanita itu harus bersedia dan siap untuk meninggalkan griya karena diangap sudah turun kasta.
“Akan sial jadinya bila wayan mengambil Telaga sebagai istri”(Tarian Bumi, 2000:174)
“Meme tetap tidak bisa menerima hubungan ini. Aib!”(Tarian Bumi, 2000:175)

Hal ini mungkin sama dengan perkawinan antara pasangan yang berbeda keyakinan. Akan tetapi, kalau masalahnya berbeda keyakinan memang hal itu masih tabuh, terlebih di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Adapun pasangan beda agama yang nekat melangsungkan pernikahannya akan pergi ke luar negeri karena biasanya di luar negeri dibolehkan pernikahan beda agama. Bila pasangan yang saling mencintai tidak boleh bersatu karena hanya perbedaan kasta, maka kasta itu sendirilah yang menjadi pemisah.
Seorang wanita sudra akan naik kasta apabila bisa dipersunting oleh seorang Ida bagus. Nama depan yang disandang pun akan berganti dari Luh menjadi Jero. Akan tetapi, wanita sudra yang “mendadak” menjadi bangsawan tidak  bisa menanggalkan masa lalunya. Bahkan apabila dia mempunyai anak, sebutan untuk anakya itu pun berdasarkan tingkatan kasta dari Ibu dan anak. Kehidupan wanita sudra yang menjadi istri seorang Ida bagus akan berubah mengikuti aturan griya (rumah tempat tinggal kasta Brahmana). Terlebih lagi, dia harus meninggalkan orang yang membesarkannya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ketika dia masih menjadi wanita sudra karena dianggap sudah “berbeda kasta”.
“Setelah disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya harus meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia harus juga meninggalkan semua yang pernah membesarkannya”(Tarian Bumi, 2000:68)
Lagi-lagi kasta yang memisahkan kedekatan seseorang. Untuk hal yang satu ini, seorang wanita sudra yang dipersunting oleh Ida Bagus harus meninggalkan keluarganya sendiri, berganti “gelar” yang katanya lebih tinggi daripada ibunya yang sudra. Padahal, Ibu adalah orang yang mulia, beliau membesarkan anaknya dengan susah payah dari kecil hingga dewasa.
Begitu juga sebaliknya, apabila seorang wanita keturunan Brahmana menikah dengan seorang lelaki sudra, maka wanita itu harus bersedia dan siap untuk meninggalkan griya karena diangap sudah turun kasta. Hal itulah yang dialami oleh Telaga.
Wanita Bali: Adat Istiadat Yang dijunjung dan dilanggar
Selain dikenal pemandangannya yang indah, pantai yang selalu ramai dengan turis asing maupun domestik, dan para penari yang sangat lihai dalam menggerakan tubuhnya, ternyata masih menjunjung tinggi adat istiadat. Konon, untuk menjadi seorang penari pun, seorang wanita Bali harus mempunyai restu dari para dewa dan pemangku adat, mulai dari sebelum pementasan sampai  pementasan itu berakhir.
“Seorang pemangku juga bertugas menghaturkan sesaji ke pura sebelum berangkat agar para dewa tari merestui pementasan mereka. Pulang dari pentas, pemangku itu kembali mengahaturkan sesaji agar para penari bisa menjalankan kehidupan sehari-hari seperti biasa, dan tidak terbawa roh penari joged.(Tarian Bumi, 2000:30)
            Akan tetapi, setelah wanita itu menjadi seorang penari yang telah direstui oleh dewa tari dan para pemangku adat, meraka harus menjaga dan menjalankan tugasnya itu dengan sebaik-baiknya. Seperti layaknya orang yang diberi amanah besar untuk melestarikan kebudayaan daerahnya sendiri. Dapat diambil kesimpulan bahwa esensi menjadi seorang penari sebenarnya bukan hanya sekedar untuk ditonton ribuan pasang mata, melainkan bagaimana dia bisa menjaga tradisi itu dengan baik.
“Tugeg, Tugeg harus catat kata-kata tiang ini. bagi perempuan Bali bekerja adalah membuat sesaji, sembahyang, dan menari untuk upacara. Itu yang membuat kesenian ini tetap bertahan. Orang-orang dulu tidak membedakan mana aktivitasnya sebagai dirinya dan mana aktivitasnya dalam berkesenian. Mereka menari karena ada upacara-upacara di pura. Sekarang? Tidak lagi. Tiang dilahirkan untuk tetap menjaga taksu tari. Taksu yang mulai dirusak oleh orang-orang yang makan sekolahan terlalu kenyang. Mereka  tidak tahu seperti apa inspirasi itu keluar dan mengganggu pikiran seorang pencipta tari. Mereka tinggal menjualnya, mempertontonkan kita di hadapan orang-orang asing. Mereka tidak belajar dari orang-orang luar, bagaimana harus menyelamatkan peninggalan peradaban yag sangat mahal ini. peradaban yang tidak bisa dibeli dengan usia sekalipun.”(Tarian Bumi, 2000:116)
Sepertinya menjadi seorang penari yang dipuja oleh para lelaki yang mengagumi keindahan tubuh saat melakukan gerak tari, paras yang cantik karena dibalut dengan dandanan seorang penari lengkap dengan atribut yang dipakai menjadi suatu kebanggan tersendiri bagi seorang wanita Bali. Akan tetapi memang untuk menjadi hal seperti itu tidaklah hal yang mudah. Hal ini juga yang menjadi keinginan Luh Sekar berganti nama menjadi Jero Kenanga setelah disunting oleh lelaki Brahmana yang mungkin dijadikan sebagai batu loncatan baginya untuk mendapatkan perhatian dari lelaki Brahmana.
“Aku ingin sembahyang, Kenten. Bicara pada dewa agar mereka tahu aku sungguh-sungguh ingin menjadi seorang penari joged. Aku sungguh-sungguh ingin mengangkat sekehe joged  ini. Aku ingin para dewa berbicara dengan para tetua desa ini bahwa aku pantas menjadi penari”(Tarian Bumi, 2000:48)
Akhirnya, impian Luh Sekar pun untuk menjadi seorang penari dan mendapatkan seorang suami seorang lelaki Brahmana tercapai. Dia dipersunting oleh Ida Bagus Ngurah Pidada yang sering joged apabila Luh Sekar sedang menari di atas pentas.  Sebenarnya kesediaan Luh Sekar dipersunting oleh Ida Bagus Ngurah Pidada bukan semata-mata karena dia mencintai lelaki itu, akan tetapi untuk tujuan perbaikan nasib, peningkatan derajat, dan hidup mewah di griya sana karean Luh Sekar sudah bosan hidup berkecukupan sebagai seorang wanita sudra.
Luh Sekar pun tahu resiko yang harus dijalani sebagai seorang istri lelaki Brahmana. Dia harus mengikuti semua aturan yang ada di griya dan menghadapi cemoohan yang mungkin bisa sesekali dilontarkan oleh salah satu keluarga griya yang melihat latar belakang Sekar sebagai seorang wanita Sudra. Akan tetapi Luh sekar pun tetap tegar. Dia harus memegang taguh adat sebagai seorang istri lelaki Brahmana walaupun hubungan dengan suami tidak seindah yang dibayangkan.
Seperti mimpi buruk di siang bolong, Telaga, anak wanita semata wayangnya justru mencintai seorang lelaki sudra. Telaga harus “turun kasta” menjadi seorang istri dari lelaki sudra, Wayan Sashmita. Secara adat, apabila wanita Brahmana menikah dengan lelaki sudra maka harus diadakan upacara adat yang menandakan bahwa wanita itu tidak lagi sebagai bagian dari griya konon katanya, apabila belum melakukan hal itu, kehadiran wanita itu dalam keluarga sudra akan menjadi sebuah malapetaka.
“Dia ingin tiang melakukan upacara Patiwangi sesuai kata-kata balian yang dia temui. Sebelum tiang melakukan acara itu, tidak akan ada ketenangan. Tiang dianggap pembawa malapetaka. Pembawa sial!”(Tarian Bumi, 2000:216)
“Berkali-kali tiang berkata, menikah dengan perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan. Sekarang anakku mati! Wayan tidk pernah mau mengerti. Ini bukan cerita dongeng. Ini kebenaran. Kalau sudah begini jadinya aku harus bicara apa lagi! Luh Gembreg memukul dadanya. Menatap Telaga tidak senang,”(Tarian Bumi, 2000:193)
“Sejak kedatangan Telaga rumah ini berubah! Mungkin karena Telaga masih seorang Ida Ayu. Perempuan itu belum melakukan upacara pamitpada leluhurnya. Suasana ini selalu tidak menyenangkan.”(Tarian Bumi, 2000:207)
Telaga tetap tegar dalam menjalani kehidupannya bersama Wayan Sasmhita walaupun hidup secara berkecukupan meninggalkan segala kemewahan yang ada di griya. Akan tetapi, itulah jalan hidup yang dipilih oleh Telaga, dia harus bisa menjalani kehidupannya secara bertanggung jawab sebagai istri, walaupun menjadi seorang istri dari lelaki sudra.
Simpulan
Kajian di atas menyajikan gambaran realitas sosial yang terjadi di dalam budaya Bali. Kebenaran gambaran yang dituangkan dalam karya ini bisa dipertanggungjawabkan karena pengarang sendiri adalah pengarang wanita yang berasal dari Bali. Keberadaannya sebagai salah satu bagian dari masyarakat Bali, mempengaruhi cara pengarang dalam menuangkan imajinasinya dalam karya ini. Dalam karyanya ini, Oka Rusmini menegaskan cara pandang kontemporer yang sangat kritis terhadap  tradisi Bali yang di masa lalu sempat muncul.
Daftar Pustaka
KS, Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Metode, Teknik, dan Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Diyanni, Robert. 2004. Literature. New York University
Wiana, Ketut dan Raka Santri, 2005. Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar. Percetakan Offset BP.
Wiana, Ketut dan Raka Santeri. 1993. Kasta dalam Hindu kesalahan berabad-abad. Yayasan Dharma Naradha.

Lampiran
Sinopsis
          Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini mengisahkan pernikahan beda kasta yang masing-masing dialami oleh ibu dan anak. Luh Sekar adalah seorang wanita yang berasal dari kasta Sudra yang mempunyai keinginan menjadi seorang penari dan menjadi istri dari seorang lelaki Brahmana. Luh Sekar mempunyai seorang Ibu yang bernama Luh Dalem. Ketika Luh Sekar masih kecil, Luh Dalem yang sehari-hari berdagang terkena musibah. Di tengah perjalanan pulang ke rumah dari pasar, Luh Dalem di rampok dan diperkosa. Penederitaan Luh Dalem tidak sampai situ saja, matanya buta akibat kejadian itu. Luh Sekar kecil pun menjaga Ibunya yang sekarang tidak bisa melihat lagi. Ternyata, benih pemerkosa bersemayam dirahim Luh Dalem. Awalnya ada niatan untuk menggugurkan kandungan itu, akan tetapi akhirnya kandungan itu tetap dijaga sampai lahir. Luh Sekar pun mempunyai saudara kembar yang diberi nama Luh Kerta dan Luh Kerti.
            Ketika Luh Sekar beranjak dewasa, keinginannya untuk menjadi penari tak tertahankan. Dengan melakukan doa kepada para dewa agar dia direstui untuk menjadi penari, dan dibantu oleh Luh Kenten dalam memberikan motivasi serta bantuan dalam mewujudkan keinginan Luh Sekar menjadi seorang penari, akhirnya impian Luh Sekar pun untuk menjadi penari tercapai. Setelah keinginannya menjadi seorang penari tercapai, maka impian selanjutnya adalah menikah dengan lelaki Brahmana dengan harapan bisa merasakan hidup mewah di griya. Bak gayung bersambut, ternyata Luh Sekar disukai oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki Brahmana anak dari pasangan Ida Bagus Tugur dan Ida Ayu Sagra Pidada. Impian Luh Sekar untuk mempunyai suami lelaki Brahmana pun tercapai, Luh Sekar dan Ida Bagus Ngurah Pidada pun menikah dan mempunyai anak perempuan yang diberi nama Ida Ayu Telaga Pidada (biasa disebut Telaga).
            Luh Sekar pun berganti nama menjadi Jero Kenanga karena sekarang dia adalah sitri dari seorang Ida Bagus dan sudah menjadi bagian dari griya. Kehidupan Jero Kenanga pun berubah, dia harus mengikuti segala aturan yang ada dgriya dan meninggalkan keluarganya yang dianggap sudah beda kasta. Akan tetapi Jero Kenanga sangat menyayangi Ibunya. Tidak lama setelah Jero Kenanga menikah, Ibunya ditemukan meninggal dan hanyut di sungai. Kehidupan berkeluarga antara Jero Kenanga dan Ida Bagus sebenarnya tidak begitu harmonis karena sejak awal memang Jero  tidak mencintai Ida Bagus, dia hanya berambisi untuk menjadi istri seorang Ida Bagus. Hal itu pun diketahui oleh Telaga yang menyebabkan Telaga sangat membenci ayahnya. Pukulan yang berat diterima Jero Kenanga ketika dia mengetahui bahwa adik kembarnya ternyata menjadi wanita peliharaan Ida Bagus. Akan tetapi Jero Kenanga tetap tegar. Tidak lama kemudian, Ida Bagus pun ditemukan telah meninggal di tempat pelacuran.
            Telaga pun mengikuti jejak Ibunya menjadi seorang penari setelah dididik oleh Luh Kembren, seorang guru tari kenamaan di Bali. Setelah berhasil mendidik Telaga menjadi penari yang hebat, Luh Kembren akhirnya meninggal Jejak Jero Kenanga yang menikah dengan seorang Ida Bagus tidak diikuti oleh anaknya. Telaga ternyata jatuh cinta kepada lelaki Sudra bernama Wayan Sasmhita. Telaga dan Wayan pun akhirnya menikah walaupu keluarga griya tidak menyetujuinya.
            Pernikahan Telaga dan Wayan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Luh Sari. Wayan mempunyai seorang Ibu dan adik yang bernama Luh Gumbreg dan Luh Sadri. Tidak lama kemudian, Wayan ditemukan meninggal di dalam galeri lukisnya. Setelah kematian Wayan, Luh Gembreg meminta Telaga untuk melakukan upacara Patiwangi, upacara pamitan kepada leluhur griya karena sekarang dia bukan bagian dari griya lagi. Upacara itu seharusnya dilakukan sebelum dia menikah dengan Wayan dan tidak tinggal lagi di griya. Selama Telaga belum melakukan upacara itu, Telaga dianggap akan membawa malapetaka bagi keluarga Luh Gumbreg. Telaga pun pergi ke griya meminta izin kepada kakek dan Ibunya untuk melakukan upacara ini, walaupun pada saat itu Ibunya tidak mau menemui Telaga, hanya kakeknya yang menemani Telaga dalam melakukan upacara itu. Setelah upacara itu selesai, akhirnya kini Telaga menjadi perempuan Sudra.