Lukisan Perempuan Dalam Kasta Bali
“Sebuah Kajian Sosiologis”
“Novel Tarian Bumi Karya Oka Rusmini” (2000)
Oleh Moh Ade Irwan Saputra
Kepedulian pengarang terhadap lingkungannya bisa menjadi sebuah inspirasi dan imajinasi tersendiri bagi pengarang dalam membuat suatu karya sastra. Hal senada dengan ini, karya sastra lahir dari pengarang untuk mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan pesan tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaiannya (Aminuddin, 1990:57). Akan tetapi, hal itu tidak semata-mata hanya menjadi sebuah imajinasi belaka, akan tetapi harus adanya suatu “kebenaran” yang sesuai dengan realitas sosial yang terjadi karena kriteria utama yang dikenalkan pada karya sastra adalah kebenaran penggambaran atau apa saja yang ingin digambarkan pengarang ke dalam karyanya. Melalui penggambaran tersebut, pembaca dapat menangkap gambaran seorang pengarang mengenai dunia sekitarnya, apakah itu sudah sesuai dengan hati nuraninya atau belum (Pradopo, 2002:26).
Berbicara tentang realitas sosial, adanya sistem kasta yang ada di Bali mungkin menjadi suatu realitas sosial yang sangat menarik untuk diketahui dan dibicarakan. Kata kasta berasal dari bahasa Portugis “casta” (dalam bahasa Inggris : caste) yang artinya kelompok, kelas sosial, jenis tertentu karena kelahiran. Kasta merupakan suatu penggolongan masyarakat berdasarkan perbedaan status sosial dan bersifat turun menurun. Istilah kasta ini dibawa oleh bangsa portugis ke India sekitar 15000 SM. Sebenarnya kasta merupakan penggolongan status sosial masyarakat dengan mengadopsi konsep Catur Warna dalam agama Hindu (brahmana, ksatria, wesyia, dan sudra). Ajaran Catur Warna dalam ajaran Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Dalam ajaran Agama Hindu dikenal empat Warna yaitu Brahmana: orang-orang yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual, Ksatria: orang- orang yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya, Waisya: orang yang bertugas untuk mengatur perekonomian, dan Sudra: orang yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain (Wiana, 2000).
Riwayat istilah kasta berawal ketika Kerajaan Majapahit hendak meluaskan kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya Gajahmada, maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13. Para “penjajah Majapahit” membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum elit itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Kesatria, dan Wesya. Semua penduduk Bali asli yang dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra. Tujuan politik Gajahmada adalah agar kaum Bali asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan Samprangan dapat berlanjut terus. Sejak masa itulah “Warna” di Bali berubah menjadi “Wangsa” atau “Kasta” karena hak-hak kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya.
Setelah kerajaan-kerajaan di Bali runtuh, kemudian Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan sendirinya hilang. Namun demikian titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk mengenang kejayaan masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur. Sekarang tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang. Tinggi rendahnya status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu (Stiti Dharma).
Melihat realitas sosial – kasta – yang terjadi di lingkungannya, Oka Rusmini sebagai wanita Bali sangat jeli dalam mengamati fenomena-fenomeni tersebut. Kehidupan masyarakat yang kompleks dan rumit – yang terikat dengan peraturan akibat adanya sistem kasta tersebut– ia tuangkan dalam tulisan dengan menggunakan bahasa sederhana yang terkadang masih lekat dengan logat Bali. Oka juga sangat mahir untuk menggambarkan secara spesifik tentang kehidupan masyarakat di Bali, sehingga bukan hanya memberikan keindahan sebagai suatu karya sastra kepada para pembaca, akan tetapi juga memberikan suatu pencerahan mengenai kesalehan spiritual manusia budaya Bali yang patuh dengan adat istiadat.
Kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut griya.
Kajian ini akan memfokuskan pada permasalahan sosial dan adat istiadat –sistem kasta dalam budaya Bali dengan segala peraturannya – Bali yang terjadi atau tertuang dalam karya ini. Untuk itu, pendekatan yang dipakai adalah pendekatan sosiologis. Pemilihan pendekatan yang diambil dianggap tepat dikarenakan pendekatan sosiologis menganalisis manusia dalam masyarakat, dengan proses pemahaman mulai dari masyarakat ke individu (Nyoman Kutha Ratna, 2007). Oleh karena itu, besar harapan kajian ini akan memberikan sedikit banyak pemahaman tentang realitas sosial Bali yang coba pengarang tuangkan dalam karyanya ini. Dasar filosofis pendekatan sosiologis itu sendiri yaitu adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Nyoman Kutha Ratna, 2007). Senada dengan hal itu, pendekatan ini digunakan agar adanya pemahaman hubungan antara karya sastra dengan kehidupan sosial yang melingkunginya berdasarkan pandangan bahwa karya sastra itu diciptakan pengarang sebagai individu yang pasti berada dalam lingkungan masyarakat dan zaman tertentu, sehingga masuk akal apabila karya sastra mengungkapkan berbagai masalah yang terjadi dalam masyarakat sesuai dengan gagasan atau persepsi pengarang yang bersangkutan (Yudiono KS, 2009).
Kasta: Jarak antara Anggota Masyarakat
Panggilan untuk setiap kasta yang berbeda, maka sebutan yang disandang pun berbeda. Ida Ayu – biasanya disingkat Dayu – adalah nama depan untuk anak perempuan kasta Brahmana, kasta tertinggi dalam struktur masyarakat Bali. Adapun nama depan untuk anak laki-laki dalm kasta Brahmana adalah Ida Bagus. Seorang yang kastanya lebih rendah akan memanggil anak perempuan Brahmana dengan panggilan Tugeg (singkatan dari Ratu Jugeg).
Banyak sekali aturan yang harus dipatuhi dalam perbedaan kasta ini. Mulai dari pemberian nama, sampai masalah memilih pasangan hidup. Seorang Ida Bagus – panggilan anak laki-laki kasta Brahmana – tidak boleh mempersunting seorang perempuan sudra – kasta terendah dalam kasta Bali – karena menurut adat dan kepercayaan akan membawa malapetaka, kesialan, atau aib. Hal inilah yang juga dialami oleh Telaga yaitu anak dari Jero Kenanga (Luh Sekar) keturunan kasta Brahmana yang jatuh cinta kepada Wayan Sasmhita. Akhirnya mereka menikah walaupun ditentang oleh keluarganya. Apabila seorang wanita keturunan Brahmana menikah dengan seorang lelaki sudra, maka wanita itu harus bersedia dan siap untuk meninggalkan griya karena diangap sudah turun kasta.
“Akan sial jadinya bila wayan mengambil Telaga sebagai istri”(Tarian Bumi, 2000:174)
“Meme tetap tidak bisa menerima hubungan ini. Aib!”(Tarian Bumi, 2000:175)
Hal ini mungkin sama dengan perkawinan antara pasangan yang berbeda keyakinan. Akan tetapi, kalau masalahnya berbeda keyakinan memang hal itu masih tabuh, terlebih di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Adapun pasangan beda agama yang nekat melangsungkan pernikahannya akan pergi ke luar negeri karena biasanya di luar negeri dibolehkan pernikahan beda agama. Bila pasangan yang saling mencintai tidak boleh bersatu karena hanya perbedaan kasta, maka kasta itu sendirilah yang menjadi pemisah.
Seorang wanita sudra akan naik kasta apabila bisa dipersunting oleh seorang Ida bagus. Nama depan yang disandang pun akan berganti dari Luh menjadi Jero. Akan tetapi, wanita sudra yang “mendadak” menjadi bangsawan tidak bisa menanggalkan masa lalunya. Bahkan apabila dia mempunyai anak, sebutan untuk anakya itu pun berdasarkan tingkatan kasta dari Ibu dan anak. Kehidupan wanita sudra yang menjadi istri seorang Ida bagus akan berubah mengikuti aturan griya (rumah tempat tinggal kasta Brahmana). Terlebih lagi, dia harus meninggalkan orang yang membesarkannya dan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan ketika dia masih menjadi wanita sudra karena dianggap sudah “berbeda kasta”.
“Setelah disunting secara sah oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, Luh Sekar tidak hanya harus meninggalkan keluarga dan kebiasaan-kebiasaannya. Selain berganti nama menjadi Jero Kenanga, dia harus juga meninggalkan semua yang pernah membesarkannya”(Tarian Bumi, 2000:68)
Lagi-lagi kasta yang memisahkan kedekatan seseorang. Untuk hal yang satu ini, seorang wanita sudra yang dipersunting oleh Ida Bagus harus meninggalkan keluarganya sendiri, berganti “gelar” yang katanya lebih tinggi daripada ibunya yang sudra. Padahal, Ibu adalah orang yang mulia, beliau membesarkan anaknya dengan susah payah dari kecil hingga dewasa.
Begitu juga sebaliknya, apabila seorang wanita keturunan Brahmana menikah dengan seorang lelaki sudra, maka wanita itu harus bersedia dan siap untuk meninggalkan griya karena diangap sudah turun kasta. Hal itulah yang dialami oleh Telaga.
Wanita Bali: Adat Istiadat Yang dijunjung dan dilanggar
Selain dikenal pemandangannya yang indah, pantai yang selalu ramai dengan turis asing maupun domestik, dan para penari yang sangat lihai dalam menggerakan tubuhnya, ternyata masih menjunjung tinggi adat istiadat. Konon, untuk menjadi seorang penari pun, seorang wanita Bali harus mempunyai restu dari para dewa dan pemangku adat, mulai dari sebelum pementasan sampai pementasan itu berakhir.
“Seorang pemangku juga bertugas menghaturkan sesaji ke pura sebelum berangkat agar para dewa tari merestui pementasan mereka. Pulang dari pentas, pemangku itu kembali mengahaturkan sesaji agar para penari bisa menjalankan kehidupan sehari-hari seperti biasa, dan tidak terbawa roh penari joged.(Tarian Bumi, 2000:30)
Akan tetapi, setelah wanita itu menjadi seorang penari yang telah direstui oleh dewa tari dan para pemangku adat, meraka harus menjaga dan menjalankan tugasnya itu dengan sebaik-baiknya. Seperti layaknya orang yang diberi amanah besar untuk melestarikan kebudayaan daerahnya sendiri. Dapat diambil kesimpulan bahwa esensi menjadi seorang penari sebenarnya bukan hanya sekedar untuk ditonton ribuan pasang mata, melainkan bagaimana dia bisa menjaga tradisi itu dengan baik.
“Tugeg, Tugeg harus catat kata-kata tiang ini. bagi perempuan Bali bekerja adalah membuat sesaji, sembahyang, dan menari untuk upacara. Itu yang membuat kesenian ini tetap bertahan. Orang-orang dulu tidak membedakan mana aktivitasnya sebagai dirinya dan mana aktivitasnya dalam berkesenian. Mereka menari karena ada upacara-upacara di pura. Sekarang? Tidak lagi. Tiang dilahirkan untuk tetap menjaga taksu tari. Taksu yang mulai dirusak oleh orang-orang yang makan sekolahan terlalu kenyang. Mereka tidak tahu seperti apa inspirasi itu keluar dan mengganggu pikiran seorang pencipta tari. Mereka tinggal menjualnya, mempertontonkan kita di hadapan orang-orang asing. Mereka tidak belajar dari orang-orang luar, bagaimana harus menyelamatkan peninggalan peradaban yag sangat mahal ini. peradaban yang tidak bisa dibeli dengan usia sekalipun.”(Tarian Bumi, 2000:116)
Sepertinya menjadi seorang penari yang dipuja oleh para lelaki yang mengagumi keindahan tubuh saat melakukan gerak tari, paras yang cantik karena dibalut dengan dandanan seorang penari lengkap dengan atribut yang dipakai menjadi suatu kebanggan tersendiri bagi seorang wanita Bali. Akan tetapi memang untuk menjadi hal seperti itu tidaklah hal yang mudah. Hal ini juga yang menjadi keinginan Luh Sekar – berganti nama menjadi Jero Kenanga setelah disunting oleh lelaki Brahmana– yang mungkin dijadikan sebagai batu loncatan baginya untuk mendapatkan perhatian dari lelaki Brahmana.
“Aku ingin sembahyang, Kenten. Bicara pada dewa agar mereka tahu aku sungguh-sungguh ingin menjadi seorang penari joged. Aku sungguh-sungguh ingin mengangkat sekehe joged ini. Aku ingin para dewa berbicara dengan para tetua desa ini bahwa aku pantas menjadi penari”(Tarian Bumi, 2000:48)
Akhirnya, impian Luh Sekar pun untuk menjadi seorang penari dan mendapatkan seorang suami seorang lelaki Brahmana tercapai. Dia dipersunting oleh Ida Bagus Ngurah Pidada yang sering joged apabila Luh Sekar sedang menari di atas pentas. Sebenarnya kesediaan Luh Sekar dipersunting oleh Ida Bagus Ngurah Pidada bukan semata-mata karena dia mencintai lelaki itu, akan tetapi untuk tujuan perbaikan nasib, peningkatan derajat, dan hidup mewah di griya sana karean Luh Sekar sudah bosan hidup berkecukupan sebagai seorang wanita sudra.
Luh Sekar pun tahu resiko yang harus dijalani sebagai seorang istri lelaki Brahmana. Dia harus mengikuti semua aturan yang ada di griya dan menghadapi cemoohan yang mungkin bisa sesekali dilontarkan oleh salah satu keluarga griya yang melihat latar belakang Sekar sebagai seorang wanita Sudra. Akan tetapi Luh sekar pun tetap tegar. Dia harus memegang taguh adat sebagai seorang istri lelaki Brahmana walaupun hubungan dengan suami tidak seindah yang dibayangkan.
Seperti mimpi buruk di siang bolong, Telaga, anak wanita semata wayangnya justru mencintai seorang lelaki sudra. Telaga harus “turun kasta” menjadi seorang istri dari lelaki sudra, Wayan Sashmita. Secara adat, apabila wanita Brahmana menikah dengan lelaki sudra maka harus diadakan upacara adat yang menandakan bahwa wanita itu tidak lagi sebagai bagian dari griya konon katanya, apabila belum melakukan hal itu, kehadiran wanita itu dalam keluarga sudra akan menjadi sebuah malapetaka.
“Dia ingin tiang melakukan upacara Patiwangi sesuai kata-kata balian yang dia temui. Sebelum tiang melakukan acara itu, tidak akan ada ketenangan. Tiang dianggap pembawa malapetaka. Pembawa sial!”(Tarian Bumi, 2000:216)
“Berkali-kali tiang berkata, menikah dengan perempuan Ida Ayu pasti mendatangkan kesialan. Sekarang anakku mati! Wayan tidk pernah mau mengerti. Ini bukan cerita dongeng. Ini kebenaran. Kalau sudah begini jadinya aku harus bicara apa lagi! Luh Gembreg memukul dadanya. Menatap Telaga tidak senang,”(Tarian Bumi, 2000:193)
“Sejak kedatangan Telaga rumah ini berubah! Mungkin karena Telaga masih seorang Ida Ayu. Perempuan itu belum melakukan upacara pamitpada leluhurnya. Suasana ini selalu tidak menyenangkan.”(Tarian Bumi, 2000:207)
Telaga tetap tegar dalam menjalani kehidupannya bersama Wayan Sasmhita walaupun hidup secara berkecukupan meninggalkan segala kemewahan yang ada di griya. Akan tetapi, itulah jalan hidup yang dipilih oleh Telaga, dia harus bisa menjalani kehidupannya secara bertanggung jawab sebagai istri, walaupun menjadi seorang istri dari lelaki sudra.
Simpulan
Kajian di atas menyajikan gambaran realitas sosial yang terjadi di dalam budaya Bali. Kebenaran gambaran yang dituangkan dalam karya ini bisa dipertanggungjawabkan karena pengarang sendiri adalah pengarang wanita yang berasal dari Bali. Keberadaannya sebagai salah satu bagian dari masyarakat Bali, mempengaruhi cara pengarang dalam menuangkan imajinasinya dalam karya ini. Dalam karyanya ini, Oka Rusmini menegaskan cara pandang kontemporer yang sangat kritis terhadap tradisi Bali yang di masa lalu sempat muncul.
Daftar Pustaka
KS, Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Kutha Ratna, Nyoman. 2007. Metode, Teknik, dan Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Diyanni, Robert. 2004. Literature. New York University
Wiana, Ketut dan Raka Santri, 2005. Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad. Denpasar. Percetakan Offset BP.
Wiana, Ketut dan Raka Santeri. 1993. Kasta dalam Hindu kesalahan berabad-abad. Yayasan Dharma Naradha.
Lampiran
Sinopsis
Tarian Bumi karya Oka Rusmini ini mengisahkan pernikahan beda kasta yang masing-masing dialami oleh ibu dan anak. Luh Sekar adalah seorang wanita yang berasal dari kasta Sudra yang mempunyai keinginan menjadi seorang penari dan menjadi istri dari seorang lelaki Brahmana. Luh Sekar mempunyai seorang Ibu yang bernama Luh Dalem. Ketika Luh Sekar masih kecil, Luh Dalem yang sehari-hari berdagang terkena musibah. Di tengah perjalanan pulang ke rumah dari pasar, Luh Dalem di rampok dan diperkosa. Penederitaan Luh Dalem tidak sampai situ saja, matanya buta akibat kejadian itu. Luh Sekar kecil pun menjaga Ibunya yang sekarang tidak bisa melihat lagi. Ternyata, benih pemerkosa bersemayam dirahim Luh Dalem. Awalnya ada niatan untuk menggugurkan kandungan itu, akan tetapi akhirnya kandungan itu tetap dijaga sampai lahir. Luh Sekar pun mempunyai saudara kembar yang diberi nama Luh Kerta dan Luh Kerti.
Ketika Luh Sekar beranjak dewasa, keinginannya untuk menjadi penari tak tertahankan. Dengan melakukan doa kepada para dewa agar dia direstui untuk menjadi penari, dan dibantu oleh Luh Kenten dalam memberikan motivasi serta bantuan dalam mewujudkan keinginan Luh Sekar menjadi seorang penari, akhirnya impian Luh Sekar pun untuk menjadi penari tercapai. Setelah keinginannya menjadi seorang penari tercapai, maka impian selanjutnya adalah menikah dengan lelaki Brahmana dengan harapan bisa merasakan hidup mewah di griya. Bak gayung bersambut, ternyata Luh Sekar disukai oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang lelaki Brahmana anak dari pasangan Ida Bagus Tugur dan Ida Ayu Sagra Pidada. Impian Luh Sekar untuk mempunyai suami lelaki Brahmana pun tercapai, Luh Sekar dan Ida Bagus Ngurah Pidada pun menikah dan mempunyai anak perempuan yang diberi nama Ida Ayu Telaga Pidada (biasa disebut Telaga).
Luh Sekar pun berganti nama menjadi Jero Kenanga karena sekarang dia adalah sitri dari seorang Ida Bagus dan sudah menjadi bagian dari griya. Kehidupan Jero Kenanga pun berubah, dia harus mengikuti segala aturan yang ada dgriya dan meninggalkan keluarganya yang dianggap sudah beda kasta. Akan tetapi Jero Kenanga sangat menyayangi Ibunya. Tidak lama setelah Jero Kenanga menikah, Ibunya ditemukan meninggal dan hanyut di sungai. Kehidupan berkeluarga antara Jero Kenanga dan Ida Bagus sebenarnya tidak begitu harmonis karena sejak awal memang Jero tidak mencintai Ida Bagus, dia hanya berambisi untuk menjadi istri seorang Ida Bagus. Hal itu pun diketahui oleh Telaga yang menyebabkan Telaga sangat membenci ayahnya. Pukulan yang berat diterima Jero Kenanga ketika dia mengetahui bahwa adik kembarnya ternyata menjadi wanita peliharaan Ida Bagus. Akan tetapi Jero Kenanga tetap tegar. Tidak lama kemudian, Ida Bagus pun ditemukan telah meninggal di tempat pelacuran.
Telaga pun mengikuti jejak Ibunya menjadi seorang penari setelah dididik oleh Luh Kembren, seorang guru tari kenamaan di Bali. Setelah berhasil mendidik Telaga menjadi penari yang hebat, Luh Kembren akhirnya meninggal Jejak Jero Kenanga yang menikah dengan seorang Ida Bagus tidak diikuti oleh anaknya. Telaga ternyata jatuh cinta kepada lelaki Sudra bernama Wayan Sasmhita. Telaga dan Wayan pun akhirnya menikah walaupu keluarga griya tidak menyetujuinya.
Pernikahan Telaga dan Wayan dikaruniai seorang putri yang diberi nama Luh Sari. Wayan mempunyai seorang Ibu dan adik yang bernama Luh Gumbreg dan Luh Sadri. Tidak lama kemudian, Wayan ditemukan meninggal di dalam galeri lukisnya. Setelah kematian Wayan, Luh Gembreg meminta Telaga untuk melakukan upacara Patiwangi, upacara pamitan kepada leluhur griya karena sekarang dia bukan bagian dari griya lagi. Upacara itu seharusnya dilakukan sebelum dia menikah dengan Wayan dan tidak tinggal lagi di griya. Selama Telaga belum melakukan upacara itu, Telaga dianggap akan membawa malapetaka bagi keluarga Luh Gumbreg. Telaga pun pergi ke griya meminta izin kepada kakek dan Ibunya untuk melakukan upacara ini, walaupun pada saat itu Ibunya tidak mau menemui Telaga, hanya kakeknya yang menemani Telaga dalam melakukan upacara itu. Setelah upacara itu selesai, akhirnya kini Telaga menjadi perempuan Sudra.